Sabtu, 30 Juni 2012

Cara Rasulullah Sujud

(Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq)

I’tidal dalam Sujud
Anas bin Malik z menyampaikan bahwa Rasulullah n bersabda,
اِعْتَدِلُوْا فِي السُّجُوْدِ
“Luruslah kalian dalam sujud!” (HR. al-Bukhari no. 822 dan Muslim no. 1102)
Yang dimaksud lurus dalam sujud, kata al-Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi t dalam ‘Aridhatul Ahwadzi (2/66—67), adalah seimbang tumpuan pada kedua kaki, kedua lutut, kedua tangan, dan wajah. Jadi, tidak ada satu anggota sujud yang mendapat beban lebih dari yang lain. Dengan demikian, terwujudlah sabda Rasulullah n, “Aku diperintah untuk sujud di atas tujuh tulang.”
Sementara itu, apabila kedua lengan dibentangkan sebagaimana anjing membentangkan kedua kaki depannya, niscaya yang jadi tumpuan adalah kedua lengan bawah, bukan wajah. Dengan begitu, kewajiban wajah tidak tertunaikan.
Ibnu Daqiqil Id t juga menerangkan bahwa yang dimaksud i’tidal/lurus adalah melakukan tata cara sujud sesuai dengan apa yang diperintahkan/ditetapkan oleh syariat. (Ihkamul Ahkam, hadits no. 96)
Dengan demikian, perbuatan sebagian orang yang merentangkan punggungnya dengan berlebihan sehingga hampir-hampir ia dalam posisi tiarap—dan menyangka telah menjalankan perintah untuk lurus dalam sujud—justru menyelisihi sunnah, karena tidak ada seorang pun sahabat yang menceritakan tata cara shalat Rasulullah n yang menyebutkan bahwa beliau meluruskan punggungnya di saat sujud sebagaimana yang mereka sebutkan dalam ruku’1. Yang diajarkan dalam as-Sunnah hanyalah perut dijauhkan dari kedua paha, tidak menempel, sehingga punggung dalam posisi terangkat/tinggi.
Perbuatan memanjangkan punggung hingga lurus, selain menyelisihi sunnah, juga masuk kepada kebid’ahan. Selain itu, perbuatan memberi kesulitan yang sangat bagi orang yang shalat karena jika punggung lurus tentunya berat badan bertumpu pada dahi dan memberi pengaruh pada leher, sehingga akan sangat memayahkan. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t, 13/188 dan 379, asy-Syarhul Mumti’, 3/121)

Tata Cara Sujud Wanita Sama dengan Pria
Abu Dawud dalam Marasil-nya (hlm. 116—118, no. 87) meriwayatkan dari Yazid bin Abi Habib, ia menyebutkan, “Nabi n melewati dua orang wanita yang sedang shalat. Beliau n bersabda,
إِذَا سَجَدْتُمَا فَضُمَّا بَعْضَ اللَّحْم ِإِلَى الْأَرْضِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي ذَلِكَ لَيْسَتْ كَالرَّجُلِ
‘Apabila kalian berdua sujud, tempelkanlah sebagian tubuh kalian ke bumi karena wanita tidak sama dengan lelaki dalam hal sujud’.”
Hadits ini mursal2 sebagaimana al-Imam Abu Dawud t membawakan hadits ini dalam kitabnya, al-Marasil. Hadits mursal bukanlah hujah. Walaupun riwayat yang mursal ini lebih baik dari sisi sanad daripada yang maushul, sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (2/223), namun hadits mursal tetaplah masuk dalam kategori hadits-hadits yang lemah ketika dia berdiri sendiri. Lihat keterangan lemahnya hadits ini dalam kitab adh-Dha’ifah (no. 2652) buah karya al-Imam al-Albani t.
Dengan demikian, tata cara sujud bagi wanita tidak berbeda dengan lelaki, berdasar hadits sahih yang sudah berulang kita bawakan bahwa Rasulullah n menyatakan,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat!”

9. Rasulullah  memberdirikan kedua telapak kaki beliau.
Hal ini sebagaimana diceritakan oleh hadits Aisyah x saat ia kehilangan Nabi n dari tempat tidurnya di suatu malam. Aisyah x pun mencari beliau dengan meraba-raba dalam kegelapan. Ternyata, tangannya menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki Rasulullah n, dalam keadaan keduanya ditegakkan dan beliau sedang sujud. (HR. Muslim no. 1090)
Jari-jemari kaki saat sujud ini dilipat3. Punggung telapak kaki dan ujung-ujung jari kedua kaki dihadapkan ke arah kiblat, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Humaid as-Sa’idi z yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari t dalam Shahih-nya (no. 828),
وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ
“Beliau menghadapkan ujung jari-jemari kedua kaki beliau ke arah kiblat.”
Caranya, dua telapak kaki ditegakkan di atas jari-jemari kedua kaki dan kedua tumit berada pada posisi yang tinggi sehingga punggung kedua telapak kaki bisa mengarah ke kiblat. (Fathul Bari, 2/382)
Kedua tumit ditempelkan, sebagaimana yang disebutkan oleh hadits Aisyah x dalam Shahih Ibni Khuzaimah (no. 654), diriwayatkan pula oleh al-Hakim t (1/228) dan ia mengatakan bahwa hadits tersebut sahih menurut syarat Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim, -red.), namun keduanya tidak mengeluarkannya. Hal ini disepakati oleh adz-Dzahabi t. Namun, yang benar ialah hadits ini hanya sahih sesuai syarat Muslim t (al-Ashl, 2/737).
Adapun lafadznya adalah sebagai berikut.
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ n-وَكَانَ مَعِيْ عَلَى فِرَاشِي–فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ ….
“Aku kehilangan Rasulullah n—tadinya beliau bersamaku di atas tempat tidurku. Ternyata aku dapati beliau sedang sujud dengan menempelkan kedua tumit beliau dan mengarahkan ujung-ujung jari-jemari beliau ke arah kiblat….”

Rasulullah n seringnya sujud di atas tanah karena memang masjid beliau tidak ditutupi oleh hamparan atau tikar, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak hadits. Namun, beliau n pernah pula shalat di atas alas, tikar, atau khumrah yang sekadar mengalasi wajah. Dengan demikian, tidaklah terlarang apabila seseorang shalat dan sujud dengan memberi alas di bawahnya, baik berupa tikar, permadani, sajadah, maupun yang semisalnya
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan t berkata, “Asalnya, sujud dilakukan dengan meletakkan anggota-anggota sujud langsung bersentuhan dengan tanah/bumi tanpa ada penghalang. Demikian yang afdal karena menunjukkan puncak ketundukan/menghinakan diri kepada Allah k. Namun, apabila seseorang sujud di atas sesuatu yang menjadi alas atau penghalang antara dia dan tanah, tidak apa-apa dan tidak ada larangannya. Shalatnya sah. Dahulu Nabi n sujud dengan apa yang mudah bagi beliau. Beliau n pernah sujud di atas bumi (tanpa alas) dan terkadang sujud di atas tikar.
Ulama mengatakan, “Alas yang dipakai untuk sujud orang yang shalat ada tiga macam.
1. Ia sujud di atas alas yang terpisah dari dirinya, seperti hamparan (tikar atau permadani atau yang semisalnya)
Yang seperti ini tidak apa-apa walaupun yang afdal adalah langsung di atas tanah.
2. Alas yang bersambung dengan orang yang shalat, seperti imamah/sorbannya dan ujung bajunya.
Ini juga tidak apa-apa karena para sahabat pernah melakukannya saat shalat bersama Nabi n. Waktu itu, mereka merasakan tanah begitu panas sehingga mereka kesulitan sujud di atasnya. Boleh pula memakai alas ini guna menghindari duri atau kerikil.
3. Alas tersebut bersambung dengan orang yang shalat dan merupakan anggota-anggota sujudnya.
Hal ini menyebabkan shalatnya tidak sah. Misalnya, ia membentangkan kedua telapak tangannya di atas tanah lantas sujud dengan meletakkan dahinya di atas telapak tangannya. (Tashilul Ilmam, 2/253)
Bekas Hitam di Dahi karena Sujud adalah Tanda Orang Saleh?
Fadhilatusy Syaikh al-Imam Ibnu Utsaimin t mengatakan, “Hal itu bukan tanda orang-orang saleh. Yang menjadi tanda justru cahaya yang tampak pada wajah (wajah yang tampak bercahaya/tidak suram dan menghitam), dada yang lapang, akhlak yang baik, dan yang semisalnya. Adapun bekas sujud yang tampak pada dahi, terkadang juga tampak pada wajah orang-orang yang hanya mengerjakan shalat fardhu karena kulitnya yang tipis, sementara itu pada wajah orang yang banyak mengerjakan shalat dan sujudnya lama terkadang tidak tampak.” (Majmu’ Fatawa, fatwa no. 523, 13/188)

Seseorang yang Tidak Bisa Sujud dengan Sempurna atau Tidak Bisa Sujud Sama Sekali
Hal ini terjadi misalnya karena masjid penuh sesak dan orang-orang berdesak-desakan saat mengerjakan shalat berjamaah, seperti yang terjadi di Masjidil Haram. Kalaupun sujud, maka jatuhnya di punggung orang yang shalat di depannya, bukan di tanah.
Tentang hal ini, ada tiga pendapat ulama.
1. Ia tetap sujud di atas punggung saudaranya atau di atas kaki saudaranya apabila memang jamaah penuh sesak. Ini yang masyhur dalam mazhab al-Imam Ahmad t.
2. Ia cukup memberikan isyarat.
3. Ia menanti hingga orang di depannya bangkit dari sujud, barulah ia sujud setelahnya.
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah dengan memberi isyarat karena ada asalnya dalam syariat, yaitu orang yang tidak mampu sujud maka ia berisyarat. Sementara itu, orang yang disebutkan di atas, hakikatnya ia tidak mampu sujud karena tidak ada tempat berupa lantai untuk meletakkan anggota sujud.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa orang yang shalat disuruh sujud di atas punggung orang yang di depannya, tentu akan menimbulkan masalah, yaitu ia mengganggu dan mengacaukan kekhusyukan orang lain. Lagi pula, sujud yang dilakukan tetap tidak bisa sempurna, karena ia sujud di atas sesuatu yang tinggi (punggung orang lain).
Sementara itu, pendapat yang mengatakan menanti orang yang di depan selesai sujud, berarti orang tersebut akan tertinggal dari amalan imamnya, walaupun ada sisi kebenarannya karena adanya sebuah uzur.
Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat adalah dengan memberi isyarat, wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh al-Imam Ibnu Utsaimin t, 13/189—190, fatwa no. 525)

Wajib Thuma’ninah dan Menyempurnakan Sujud
Hudzaifah z pernah melihat seseorang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Setelah orang itu selesai shalat, Hudzaifah z berkata kepadanya, “Engkau belum shalat. Apabila sampai engkau mati dalam keadaan shalatmu demikian, matimu tidak di atas fitrah yang ditetapkan oleh Allah l kepada Muhammad n.” (HR. al-Bukhari no. 791)
Hadits ini menunjukkan wajibnya thuma’ninah dalam sujud. Apabila thuma’ninah ini hilang, shalatnya akan batal. (Fathul Bari, 2/356)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(insya Allah bersambung)

Catatan Kaki:

1 Rasulullah n meluruskan punggung beliau saat ruku.

2 Hadits mursal adalah hadits seorang tabi’in yang tidak bertemu Rasulullah n langsung menyandarkan haditsnya kepada beliau, tanpa menyebutkan perantara antara dia dengan Rasulullah n. Adapun hadits maushul adalah hadits yang sanadnya bersambung.

3 Haditsnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah.

Hukum Amalan Tanpa Ilmu

(ditulis oleh: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah)
Allah l berfirman,

“Orang-orang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi ‘air’ itu, dia tidak mendapati apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (an-Nur: 39—40)
Allah l menyebutkan dua permisalan untuk orang-orang kafir, permisalan fatamorgana dan permisalan kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Ini karena orang-orang yang berpaling dari petunjuk dan kebenaran itu ada dua macam. Salah satunya adalah seseorang yang mengira bahwa dirinya di atas suatu kebenaran, lalu menjadi jelas baginya saat terbukti hakikatnya berbeda dengan apa yang dia kira. Inilah kondisi orang-orang yang bodoh dan kondisi para pengikut bid’ah. Mereka mengira bahwa mereka berada di atas petunjuk dan ilmu. Ketika hakikatnya tersingkap, menjadi jelas bagi mereka bahwa ternyata mereka tidak berada di atas petunjuk. Mereka juga tahu, keyakinan dan amal mereka yang berasal dari ilmu mereka, hanya fatamorgana yang berada di tanah datar, yang terlihat oleh mata yang memandangnya sebagai air padahal tiada nyatanya.
Demikian pula amalan-amalan yang bukan karena Allah l dan tidak berlandaskan perintah-Nya. Si pelaku menyangkanya bermanfaat baginya, padahal tidak demikian. Amalan inilah yang dikatakan oleh Allah l,
“Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23)
Coba perhatikan, bagaimana Allah l menjadikan fatamorgana itu di atas tanah yang datar lagi kosong, tidak ada bangunan, pepohonan, dan tumbuhan. Di situlah tempat terjadinya fatamorgana: tanah yang kosong, tidak ada sesuatu. Memang, fatamorgana itu sesuatu yang tidak ada nyatanya. Permisalan ini sesuai dengan amalan dan kalbu mereka yang kosong dari iman dan hidayah.
Perhatikanlah firman-Nya,
“Orang yang dahaga menyangkanya air….”
Artinya, ketika orang yang sangat dahaga melihat fatamorgana, mengiranya sebagai air sehingga ia mengejarnya. Tetapi, ternyata ia tidak mendapatkan apa-apa. Fatamorgana itu menipunya di saat ia sangat membutuhkan air. Demikian juga keadaan mereka. Ketika amal mereka bukan karena taat kepada Rasul n dan bukan karena Allah l, amal mereka dijadikan laksana fatamorgana. Amalan itu akan ditampakkan kepada mereka saat mereka sangat kehausan dan sangat membutuhkannya, namun mereka tidak mendapatkan apa-apa. Mereka justru mendapati Allah l yang akan membalasi amal mereka dan akan memenuhi hisab mereka.
Dalam sebuah hadits tentang hari kiamat dalam kitab ash-Shahih, dari hadits sahabat Abu Sa’id al-Khudri z, dari Nabi n,
“Lalu didatangkan Jahannam dan ditampakkan laksana fatamorgana. Dikatakan kepada Yahudi, ‘Apa yang kalian sembah?’ Mereka mengatakan ‘Kami dahulu menyembah Uzair, putra Allah.’ Lantas dikatakan kepada mereka, ‘Kalian berdusta. Allah tidak memiliki istri dan anak, lantas apa yang kalian maukan sekarang?’ Mereka menjawab, ‘Kami menginginkan Engkau beri kami minum.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Minumlah!’ Akhirnya mereka berjatuhan di Jahannam. Kemudian dikatakan kepada orang-orang Nasrani, ‘Apa yang kalian sembah?’ Mereka menjawab, ‘Kami menyembah al-Masih, putra Allah.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Kalian dusta. Allah l tidak memiliki istri atau anak, lantas apa yang kalian inginkan?’ Mereka menjawab, ‘Kami menginginkan Engkau memberi kami minum.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Minumlah!’ Akhirnya mereka berjatuhan….”
Inilah kondisi setiap pelaku kebatilan. “Kebaikan” mereka akan mengkhianati mereka saat mereka sangat membutuhkannya, karena kebatilan itu tidak ada nyatanya. Sama dengan namanya, batil (yang dalam bahasa Arab berarti ‘sesuatu yang akan lenyap’), jika sebuah keyakinan tidak sesuai dengan (tuntunan) dan tidak benar, yang terkait dengannya juga batil.
Demikian pula jika tujuan sebuah amalan itu batil, seperti beramal karena selain Allah l atau tidak di atas perintah-Nya, amalnya batil dengan sebab kebatilan tujuannya. Pelakunya akan merasa celaka karena sia-sianya amal tersebut. Ia justru akan mendapatkan kebalikan dari apa yang dia angan-angankan… Ia tersiksa dengan lenyapnya manfaat amalannya dan perolehan yang sebaliknya. Oleh karena itu, Allah l berfirman,
“Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (an-Nur: 39)
Inilah permisalan seseorang yang dia mengira dirinya berada di atas petunjuk.
Macam yang kedua, adalah pemilik permisalan kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan petunjuk, namun lebih mengutamakan kegelapan kebatilan dan kesesatan daripada kebenaran tersebut. Akhirnya, menumpuklah kegelapan tabiatnya, kegelapan jiwanya, kegelapan kebodohannya, dan kegelapan kesesatan serta hawa nafsu, yang mereka tidak mengamalkan ilmu mereka sehingga mereka menjadi bodoh.
Keadaan mereka laksana seseorang yang berada di lautan yang dalam lagi tidak bertepi, sementara itu ombak meliputinya. Di atas ombak itu ada ombak lagi. Di atasnya lagi ada awan yang gelap. Jadilah ia berada di kegelapan lautan, kegelapan ombak, dan kegelapan awan. Ini seperti kegelapan yang ia berada padanya. Kegelapan yang Allah l tidak mengeluarkannya darinya menuju cahaya iman.
Dua permisalan ini, permisalan fatamorgana yang dia kira sumber kehidupan, yaitu air, dan permisalan kegelapan-kegelapan yang berlawanan dengan cahaya, mirip dengan permisalan orang-orang munafik dan orang-orang mukmin, yaitu permisalan air dan api. Allah l menjadikan bagian bagi mukminin dari keduanya adalah kehidupan dan cahayanya, sedangkan bagian untuk munafik adalah kegelapan yang merupakan lawan dari cahaya dan kematian yang merupakan lawan dari kehidupan.
Demikian juga orang-orang kafir dalam dua permisalan ini. Bagian mereka hanyalah fatamorgana yang menipu orang yang melihatnya—sesuatu yang tidak ada kenyataannya—dan bagian mereka adalah kegelapan-kegelapan yang berlapis-lapis.
Bisa jadi, maksud ayat ini adalah keadaan salah satu dari kelompok-kelompok orang kafir. Mereka kehilangan sumber kehidupan dan cahaya karena mereka berpaling dari wahyu. Oleh karena itu, dua permisalan ini adalah untuk satu golongan.
Namun, bisa jadi pula, maksudnya adalah macam-macam keadaan orang kafir. Permisalan pertama adalah mereka yang beramal tanpa ilmu, hanya dengan kebodohan dan baik sangka terhadap para pendahulu (nenek moyangnya). Mereka mengira telah berbuat baik. Adapun permisalan kedua adalah bagi yang lebih menyukai kesesatan daripada petunjuk dan mendahulukan yang batil daripada yang haq. Mereka buta padahal sebelumnya melihatnya. Mereka pun mengingkari padahal sebelumnya mengetahui. Inilah keadaan orang-orang yang dimurkai. Adapun yang pertama adalah keadaan orang-orang yang sesat.
(diterjemahkan dan disusun dari beberapa buku Ibnul Qayyim, oleh Qomar Suaidi)

Solusi Bayar Hutang Cepat Lunas Klik Disini
Tabungan Syari'ah Menguntungkan Klik Disini

By Asysyariah.com

Kamis, 28 Juni 2012

Berdo'a Dengan Cara Rasululllah

Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,Pernahkah saudara mendengar sebuah hadist bagaimana cara melantunkan sebuah doa versi tiga orang yang terkurung dalam sebuah gua, saya ingin ceritakan kembali versi singkatnya.

Rasulullah pernah mengabarkan mengenai kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, mereka semua berada dalam keputusasaan hingga salah seorang dari mereka berkata, "Sungguh tidak ada yang dapat menyelamatkan kalian dalam bahaya ini, kecuali bila kalian berdoa kepada Allah swt dengan menyebut amal-amal saleh yang pernah kalian perbuat. Kemudian salah seorang berdoa dengan menyebutkan amalan utamanya berupa memuliakan orang tuanya dibanding keperluan anak-anaknya sendiri, kemudian setelah dia uraikan amalannya dia berkata, "Ya Allah, jika aku berbuat itu karena mengharapkan ridha-Mu, maka geserkanlah batu yang menutupi gua ini", maka bergeserlah sedikit batu itu, tetapi mereka belum bisa juga keluar. Kemudian orang kedua pun melanjutkan doanya yang berkaitan dengan amalan utamanya berupa menghindari diri dari perbuatan zina karena takut kepada Allah, dan dia berdoa, "Ya Allah jika aku berbuat itu karena mengharapkan ridha-Mu, maka geserkanlah batu yang menutupi gua ini", maka bergeserlah sedikit batu itu. Tapi mereka belum juga bisa keluar, maka orang ketiga pun melanjutkan doanya mengenai amalan utamanya berupa menjaga amanat harta orang lain yang dikelolanya, dan dia berdoa, "Ya Allah jika aku berbuat itu karena mengharapkan ridha-Mu, maka geserkanlah batu yang menutupi gua ini", maka bergeserlah sedikit batu itu, dan mereka pun bisa keluar dari gua itu. (HR Bukhari dan Muslim).

Dan pernahkah juga saudara mendengar ataupun membaca bagaimana Rasulullah melantunkan doa di kala sangat kritis sewaktu berkecamuknya perang Badar? Saya akan coba menguraikan kembali kisahnya secara singkat.

Kala itu setelah meluruskan barisan pasukan kaum muslimin, Rasulullah kembali ke tendanya dengan ditemani oleh Abu Bakar, dan tidak ada seorang pun kecuali keduanya. Lalu Rasulullah bermunajat kepada Rabb-Nya, dengan seluruh jiwanya ia menghadapkan diri kepada Tuhan-Nya, begitu dalam ia hanyut dalam doa.

Dalam permohonannya ia berkata, "Allahumma Ya Allah, ini bangsa quraisy sekarang datang dengan segala kecongkakannya, berusaha untuk mendustakan rasul-Mu. Ya Allah, berilah pertolongan-Mu yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau membinasakan kaum kami pada hari ini, tiada lagi yang akan menyembah-Mu."

Sementara ia hanyut dalam doa sambil merentangkan tangan menghadap kiblat, mantelnya terjatuh. Ketika itu Abu Bakar menyaksikannya lalu meletakkan mantel itu kembali ke bahu Rasulullah, sambil ia berkata, "Wahai Nabi Allah, dengan doamu itu, sesungguhnya Allah pasti memenuhi janji-Nya kepadamu."

Tetapi sungguh pun begitu, Muhammad semakin dalam terbawa dalam aliran doa, dengan penuh ke-tawadhu-an dan kesungguhan hati ia terus memanjatkan doa, memohonkan pertolongan Tuhan-Nya dalam menghadapi peristiwa yang genting, yang oleh kaum muslimin sama sekali tidak diharapkan, dan untuk pertempuran itu pula mereka tidak memiliki persiapan.

Hingga karena letihnya dalam berdoa membuat Rasul tertidur, beberapa saat kemudian beliau terbangun dengan rasa gembira, dan bersabda, "Bergembiralah hai Abu Bakar, sungguh pertolongan Allah telah datang kepadamu. Inilah jibril sedang memegang kendali kuda. Ia menuntun kuda tersebut, dan gigi di depannya terdapat kematian."

Kemudian ia keluar menemui sahabat-sahabatnya, dikerahkannya semangat sambil berkata:

"Demi Dia yang memegang jiwa Muhammad, setiap orang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di surga."

Beberapa waktu lalu saya bertemu rekan lama, dia seorang pengusaha, kulihat sekarang kondisinya lumayan lah, mungkin bisnis yang dikelolanya cukup berhasil.

"Alhamdulillah", gumamku.

Saya ingat beberapa tahun silam dia pernah mengalami suatu ujian yang berat atas perusahaan yang dikelolanya, saat itu sering beliau mencurahkan isi hatinya kepadaku dan menceritakan beratnya ujian yang dialaminya, setelah setumpuk ikhtiar dilakukan, bisnisnya tak kunjung mendapatkan tanda-tanda akan selamat dari kebangkrutan, dan bukan saja bangkrut, bahkan akan terjerat hutang usaha yang sangat besar, dia katakan sekitar puluhan milyar siap untuk menjerat lehernya.

Bukan saja sisi nominal yang membuatnya sesak, tak kalah beratnya yang menjadi beban adalah tanggungan puluhan karyawan yang berada di perusahaannya, intinya menurut beliau pada saat itu adalah masa yang sangat mengguncang jiwanya, makan tak enak, tidur tak lelap, dan segala yang tak enak lainnya menghampiri beliau.

Yang kutahu, di sisi yang lain usaha beliau bukan saja terkait pada sektor bisnis, tetapi beliau juga aktif dalam melakukan pembinaan usaha berupa pesantren di suatu desa terpencil, pesantren tersebut tumbuh secara sehat, santrinya sekitar lima ratusan, tetapi jenis usahanya adalah nirlaba, atau tidak dikenakan biaya apa pun terhadap santri yang sekolah di pesantren tersebut.

"Usaha pesantren ini untuk cash flow langit", begitu ujarnya setiap kali saya tanyakan kenapa dia serius sekali mengelola usaha nirlaba ini.

Saya menjadi penasaran dan tercetus keingintahuan bagaimana caranya dia menyelesaikan masalah usahanya pada tahun-tahun silam. Karena saya melihat kondisi saat ini jauh berubah, lebih sukses bila dibandingkan pada saat itu.

Beberapa kali kupancing serentetan pertanyaan dari ketidaksabaranku, barulah ia bersedia untuk menceritakan kisahnya ...

Ya kawan karibku, tiada satu kekuatan yang dapat membantuku saat itu kecuali kekuatan Allah, tiada yang maha pengasih kecuali Allah pula, Dialah yang memberikan jawaban dan jalan keluar kepadaku. Kami ini makhluk yang sangat lemah dan hina, dan Dia lah Maha Kuat dan Maha Kaya. Tiadalah kejadian itu terjadi kecuali menambah kualitas keimanan kami, kami merasakan kasih sayang dan cinta-Nya.

Engkaupun tahu masalah yang kami hadapi saat itu, penuh dengan kesukaran, hati terasa sempit, kami ditinggalkan pula oleh kawan-kawan, tiada pihak yang ingin meringankan masalah kami saat itu, semua pihak menekan, menekan dan menekan setiap waktu.

Pada saat usaha kami jatuh, tiada akal lagi untuk mencari apa peluang pengganti usaha kami ini agar bisa melunasi hutang usaha yang berjumlah milyaran itu, sama sekali tidak ada ide, tertutup. Walaupun demikian kami tetap melakukan berbagai ikhtiar mencari solusinya, hingga sampai pada suatu waktu kami pasrah terhadap apapun keputusan-Nya.

Sering kali kami lantunkan doa untuk diberikan jalan keluar atau yang terbaik bagi kami, bahkan ribuan kali kami berdoa, bukan saja di saat sholat, bahkan dalam perjalanan pun tak lupa kami berdoa kepadanya, intinya lidah dan bibir kami basah dengan doa dan pujian.

Hari demi hari, minggu demi minggu, dan sekian bulan berlalu dalam kondisi tak menentu. Lalu sampailah pada satu saat aku berdoa di malam hari di tengah semua orang tertidur lelap, bersimpuh dan berdoa kepada-Nya, aku hanya ingat beberapa hadist dan kisah Kekasihku dalam melantunkan doa-doanya. Kemudian dia bercerita mengenai dua kisah di atas.

Aku coba ikuti cara Kekasihku, Muhammad, dalam berdoa pada saat-saat yang genting, dan kusesuaikan redaksi doanya dengan kondisiku.

"Ya Allah, Engkau Maha Tahu kondisi kami ini, kami sedang dibebani masalah, dan Engkau tahu pula bahwa dari hasil usaha yang kami upayakan kami kelola pula sebuah usaha pesantren, Engkau tahu kami tidak memungut biaya apapun pada mereka."

Jika memang amal ibadah tersebut kami lakukan hanya untuk meraih keridhoan-Mu, mohon Ya Allah berilah jalan keluar untuk kami.

Ya Allah, kami khawatir jika engkau tidak membantu hamba-Mu ini, kami khawatir keberlangsungan pesantren kami terhenti, akan ke mana perginya santri-santri tersebut.

Ya Allah, aku sayang mereka, kami iba dengan wajah mereka, curahkan kasih sayang-Mu pada mereka, dengan menolong usaha kami Ya Allah.

Engkaulah yang Maha Mengetahui hati hati kami, ikhlaskanlah hati kami, dan lapangkan hati kami apapun yang engkau putuskan, dan kami yakin apapun keputusan-Mu adalah yang terbaik bagi kami.

Tak kusangka doanya tersebut membuat jiwaku bergetar dan tak kuasa emosiku terlibat, nyaris kupeluk sahabatku itu, luar biasa makna dari doa tersebut.

Kemudian dia lanjutkan kembali, "Setelah kulantunkan doa tersebut, tak kusangka dalam waktu yang sangat singkat kasih sayang-Nya telah membuka sebuah jalan keluar yang tidak terduga, ibarat pintu gua yang tidak mungkin terbuka dalam kisah yang kuceritakan itu dengan izin-Nya menjadi terbuka".

Sambil menahan emosi, ia melanjutkan, "Tiba-tiba seorang relasi kami menawarkan suatu bisnis yang terbilang besar yang tidak pernah tersentuh oleh perusahaanku, bahkan bisnis tersebut di luar kapasitas secara materi maupun keahlian yang kami punya. Kala itu kami pikir bahwa peluang bisnis tersebut pastilah sudah diatur pemenangnya, paling-paling kalau ikut partisipasi juga, ya paling tidak hanyalah mengarak pemenangnya saja.

Saat itu, benar-benar aku tidak tertarik untuk memprosesnya. Kudiamkan saja. Tapi peluang itu datang lagi, datang lagi dan hadir kembali. Karena sering kali peluang yang sama itu selalu hadir, kucoba beranikan diri untuk memprosesnya.

Apa yang terjadi selanjutnya sungguh ku tak pernah menduganya. Kami mendapati ribuan kemudahan, kami memperoleh proyek tersebut dengan mudah, karena hanya perusahaan kami yang mengajukan proposal tender tersebut dan tidak ada pesaing sama sekali!

Ke mana para competitor yang besar? Ke mana mereka semuanya? Muncul keanehanku saat itu.

Bila Dia memutuskan sesuatu, tidak ada pihak pun yang akan mampu menghambat-Nya! Ini semuanya kemudahan dari-Nya, Dia permudah seluruh proses tersebut. Dan dalam jangka waktu yang singkat kami mendapati keuntungan tiga kali dari jumlah hutang kami! Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Begitulah dia menceritakannya dengan penuh keharuan.

Selanjutnya kutahu, temanku itu menjadi orang yang selalu bersyukur dan dia yakin sekali bahwa pesantren tersebut telah menjadi amal andalan yang telah menjadi perantara doanya.

Kabar terakhir yang kuterima, pesantren tersebut menjadi semakin besar dan megah walaupun para santrinya tidak pernah terbebani oleh biaya apapun.

Nah, bagi para enterpreneur, tidak selamanya masa-masa menyenangkan hadir dari kehidupan seorang pengusaha, adakalanya masalah yang banyak terjadi justru sebuah ujian yang tidaklah ringan. Keberhasilan itu hadir setelah melewati masa masa sulit. Bukankah layangan akan terbang tinggi bilamana ada angin yang menerpanya?

Atau mungkin, bagi seorang pengusaha, janganlah berpikir hanya mengembangkan usaha untuk meraih keuntungan materi saja, tetapi cobalah mulai dipikirkan sebuah usaha alternatif yang bermanfaat buat orang banyak, yang akan dijadikan cash flow langitnya. Bisa saja usaha-usaha tersebut akan dan telah menjadi amalan andalan, yang bilamana kita terhimpit suatu masalah ataupun ujian yang berat, bisa dijadikan perantara atau tawasul untuk permohonan doa kita kepada Allah.

Terakhir, selamat berdoa. Allah Maha Mendengar rintihan hamba-hamba-Nya.

Zidni T. Dinan

zidni_dinan@yahoo.com

Untuk rekan-rekanku seperjuangan, saya hanya katakan bahwa jalan itu masih panjang!


Tips Menabung Lebih Berkah DISINI

Rabu, 27 Juni 2012

Rahasia Sukses Orang Kaya



RAHASIA SEDEKAH
Kisah ini saya baca disebuah majalah motivasi yang mengulas rahasia sukses seorang milyarder. Majalah ini mewawancarai seorang pengusaha muslim dengan penghasilan hingga milyaran rupiah dalam 1 bulan. Setelah selesai membaca kisah sang pengusaha, tanpa pikir panjang saya langsung mengambil catatan agar bisa saya posting di blog ini. Siapa tahu berguna bagi pengunjung blog saya.
Rahasia sukses pertama seorang milyarder ini berhubungan dengan ibu. Dia sangat menghormati dan menyayangi ibunya. Menurut milyarder ini, ibu adalah sosok paling penting dalam rahasia suksesnya. Doanya sangat ampuh, bahkan doa 1000 ulama sekalipun akan kalah dengan doa seorang ibu.

Rahasia sukses kedua seorang milyarder ini berhubungan dengan sedekah. Allah akan melipatgandakan apa yang telah disedekahkan oleh umatnya. Bahkan hingga berlipat 700 kali dari jumlah yang kita keluarkan jika untuk berjuang di jalan Allah. Bukan hanya dalam bentuk materi Allah memberi balasan, bisa juga dengan terhindar dari bahaya, kesehatan, keluarga yang baik, ilmu, dan kesempatan lain. Selain itu, rahasia sukses dia hingga menjadi seorang milyarder yaitu tidak menyepelekan pengemis. Dia selalu memberi sedekah pada pengemis karena doa pengemis atau orang yang sedang kesusahan akan langsung didengar Allah.

Rahasia sukses ketiga seorang milyarder ini berhubungan dengan sikap suka menolong sesama. Menurutnya, Allah sering memberi rejeki yang tak disangka dari perbuatan ini. Pengusaha sukses ini berusaha sebisa mungkin menolong semua orang yang mengalami kesusahan. Dia selalu menjadi dewa penolong pada setiap kesusahan orang, akibatnya saat dia dalam kesulitan, DIA DENGAN MUDAH BERTEMU DEWA PENOLONG PULA.

Itulah sepenggal cerita yang saya dapat beberapa waktu yang lalu. Semoga rahasia sukses seorang milyarder ini bisa menjadi spirit bagi kita. Ternyata berbakti pada orang tua terutama ibu, sedekah, dan suka menolong, bisa mengantarkan seseorang menjadi milyarder. Semoga bermanfaat. Sukses untuk anda…..

Hidup Karena Allah

Seandainya seorang melakukan segala hal hanya dengan mengharap ridha Allah pastilah semuanya akan lebih baik. Biarlah semua mengalir atas kehendaknya.. yang penting ketika kita mengharapkan sesuatu berusahalah dengan sebaik mungkin dengan cara yang di sukaiNya. setelah itu biarlah Allah yang memutuskan karena hanya Allahlah yang tau mana yang pantas kita dapatkan. Cara Allah mengabulkan do'a begitu unik. Dia memberikan sesuatu yang terbaik, bukan memberikan keinginan kita.

Hidup hanya sebentar.. seandainya kiamat terjadi 100 tahun lagi maka kita akan lebih lama tinggal di alam kubur daripada d dunia, padahal kehidupan kita sesungguhnya adalah kehidupan kita setelah mati. Berdo'alah supaya berkat dan rahmat Allah selalu bersama kita, aar kita selalu terlindungi dari segala fitnah syaiton yang terkutuk. Berdo'alah dan minta dengan sesungguh-sungguhnya minta. tanpa rahmatnya tentulah kita menjadi ahli neraka.

berdo'alah dengan sungguh sungguh, ingat umur kita sekarang, apa yang kita siapkan untuk bekal nanti. Hidup itu anugrah. " Ada bayangan togkat berdiri membuktikan adanya Tongkat yang di tancapkan" "Adanya sesuatu membuktikan adanya pencipta" begitu juga adanya kita membuktikan adanya sang pencipta, kita harus ingat dan tau apa tujuan makhluk di ciptakan. bismillah.. jangan sampai terjebak terus dengan fitnah syaiton yang terkutuk.

Satanic Finance World

Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,
“Tidak ada yang kebetulan. Semua ada yang mengatur. Begitulah kata bijak yang sering didengar dunia manusia. Sebaliknya bagi kami, para setan, kata-kata itu sedikit konyol dan menggelikan. Ya, karena kamilah aktor yang mengatur. Kami mau buka-bukaan saja. Kamilah yang menggoda dan membisikkan kejahatan kepada manusia yang lalai. Lalu kami jadikan kejahatan, permusuhan, kebencian, kedengkian, dan kemaksiatan yang merusak umat manusia, tampak indah di mata mereka. Sudah banyak musuh-musuh yang mendiskreditkan upaya kami. Tidak apa-apa, itu merupakan bagian dari perjuangan. Mereka boleh menghina kami.

Tuhan mereka menyebut kami sebagai 'musuh yang nyata' bagi manusia. Faktanya, banyak dari mereka yang beralih kiblat dan menjadi sekutu kami. Sekutu untuk merusak, bukan hanya untuk mereka sendiri, tapi bagi umat manusia, langsung atau tidak langsung. Oh ya, tugas kami menggelincirkan manusia sebagai pribadi sudah banyak diekspos. Mungkin tidak banyak manusia yang tahu, kalau agenda itu terus kami tingkatkan dan perbaharui. Targetnya, bagaimana kerusakan yang menyengsarakan manusia dalam skala masif bisa tercipta. Oke lah, manusia-manusia yang menjadi musuh kami pasti tahu agenda utama kami: menggelincirkan mereka dari jalan kebenaran. Tapi, jangan sangka manusia yang khusyu' dalam majelis ilmu dan majelis dzikir, akan terus selamat dari rekayasa kami. Tidak! Melalui kolega-kolega kami, manusia-manusia berjiwa setan, upaya merubuhkan mereka terus kami rancang. Melalui cara-cara politik yang lihai serta rekayasa ekonomi dan keuangan.

Penetrasi melalui ekonomi? Merekayasa keuangan? Mungkin terdengar aneh. Tapi itulah salah satu penetrasi terbesar kami. Jangan kira tragedi ekonomi yang menyapu hampir semua kawasan Asia Tenggara pertengahan 1997 lalu, lepas dari semua campur tangan kami. Benar seperti kata manusia, bencana itu tidak terjadi secara kebetulan. Bencana itu bagian dari kerja keras kami agar manusia saling jegal, menggunakan cara-cara kami -yang acap kali dicap kotor oleh sebagian manusia- untuk mengeruk keuntungan pribadi dan golongan, dan menyisakan kesengsaraan bagi mayoritas yang lain.

Dimulai dari melemahnya mata uang Bath Thailand terhadap dollar AS, yang kemudian seperti bandul cepat merembet ke negara-negara lain termasuk Indonesia. Tiba-tiba begitu banyak orang, perusahaan, bahkan negara yang utangnya menumpuk karena mata uang domestik terdepresiasi terhadap mata uang asing. Kami bersorak! Kemiskinan dan kemelaratan cepat merebak. Seperti membalikkan telapak tangan. Yang kemarin masih kaya tiba-tiba jatuh miskin. Yang kemarin sudah miskin, pasti lebih celaka lagi. Banyak orang yang tiba-tiba menganggur karena terkena dampak rasionalisasi. Hidup menjadi tambah sulit.

"Jangankan mencari yang halal, yang haram pun susah," begitu keluh kesah sebagian manusia yang frustasi. Sekali lagi kami bersorak. Inilah salah satu prestasi terbaik kami, untuk tidak menyebut yang terbagus setelah menggelincirkan Adam dan Hawa dari singgasana surga! Karena melalui pintu-pintu kemiskinan manusia dengan mudah kami bawa ke pintu kekufuran. Sepanjang tahun kami tertawa mengenang kemenangan kami dan ketololan manusia.”

Inilah sepenggal kisah pembuka penuturan setan mengenai krisis moneter yang terjadi dan dirangkum dalam buku "Satanic Finance" ditulis oleh DR. Ahmad Riawan ‎Amin, ditektur International Islamic Financial Market. Dalam buku ini digambarkan sistem keuangan yang menguasi dunia dan yang berlaku hampir di setiap negara di dunia dengan gaya penuturan seperti cerita yang dikisahkan oleh setan sang aktor dibalik sistem keuangan dunia.
Buku Satanic Finance karya Ahmad Riawan ‎Amin dibuat ringkas dengan bahasa yang sederhana dan dibuat dalam 5 bab. Bab pertama diulas mengenai bahaya penerapan the three pillars of evil, dilengkapi kisah Sukus dan Tukus yang bisa menjadi cermin sederhana bagaimana sistem pilar setan memerosokkoan ekonomi, menceraiberaikan budaya saling tolong dan meyibukkan manusia untuk terus berkompetisi. Bab kedua mengulas bahaya utang dalam perpektif individu maupun negara. Bab ketiga mengulas bagaimana fiat money khususnya dollar, menjadi racun ekonomi. Bab keempat, dimunculkan solusi dari fiat money. Dan bagian kelima menjadi fragmen penutup, mencari yang pembebas.

Namun, rasanya akan kurang lengkap jika hanya membaca bagaimana paparan setan tentang penetrasi dan keberhasilan mereka menggelincirkan manusia melalui sistem ekonomi dan keuangan tanpa membaca Eramuslim Digest edisi 8 yang juga bertema The Satanic Finance: Konspirasi di Balik Sistem Keuangan Dunia.

Pada Eramuslim Digest dikupas secara tuntas tentang sejarah uang dan sistem keuangan dunia berdasarkan fakta yang tidak banyak diketahui. Mulai dari sejarah uang, pemakaian emas, hingga segala hal yang saling berkaitan dengan sistem keuangan serta aktor manusia yang berada dibaliknya.

Kedua buku ini menjadi penting untuk dibaca bagi setiap muslim untuk mengetahui secara jelas siapakah musuh-musuh Allah SWT dalam bidang keuangan. Dan solusi apakah yang seharusnya diambil dan didukung penuh untuk dapat keluar dari satanic finance yang membelenggu.

Pesan sekarang juga Buku Satanic Finance karya DR. Ahmad Riawan Aminn, dan dapatkan diskon 50% untuk pembelian Eramuslim Digest 8 The Satanic Finance. Jadi tunggu apalagi ?!


Penulis : Ahmad Riawan Amin

ISBN: 978-602-9346-89-3

Ukuran: 15 X 23 cm, Soft Cover

Halaman: 124 hal

Berat : 300 gram

Penerbit : Zaytuna (Ufuk Press)

Harga awal Rp 150.000,-
Harga Diskon Rp 70.000,- 

Pemesanan hubungi dinarislam33@gmail.com
Beli Dinar ?? www.rajadinar.com

Bersyukurlah Allah Masih Menguji Kita

"Sesungguhnya kecepatan kita untuk menerima kenyataan, yang musti terjadi, hasilnya sangat menakjubkan. Karena itu akan segera merelakan kenyataan itu dan kemudian melupakannya selama-lamanya," ujar pakar psikologi terkenal, Dale Carnegie. 

Kebanyakan orang menjadi lemah karena musibah yang menimpanya. Bahkan, sudah tidak aneh juga kita mendengar orang yang kehilangan akal sehatnya lantaran mengalami tekanan akibat musibah. Beban hidup yang terlalu berat dapat mengakibatkan tekanan batin yang hebat. Dalam ilmu psikologi, disebut depresi. Ungkapan Dale Carnegie di atas, mengajak orang membatasi kesulitannya dengan menghadapi kenyataan dan bersiap menerimanya. Sebab, semakin seseorang larut dalam kesedihan, maka ia dapat kehilangan kontrol atas dirinya sendiri, dan menjadi seperti orang sakit jiwa. 

Diceritakan tatkala anak-anak Nabi Ya'qub alaihissalam, datang menemui beliau sambil berpura-pura nangis karena kehilangan puteranya, Yusuf Alaihi salam, yang dikatakkan mati dimakan serigala. Nabi Ya'qub tidak mempercayai apa yang dikatakan anak-anaknya itu, dan ia mengeluarkan kalimat yang diabadikan dalam Al-Qur`an, "Kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongannya terhadap apa yang kamu ceritakan." (QS. Yusuf : 83)

Nabi Ya'qubpun tetap menanti kembalinya Yusuf yang hilang antara hidup dan mati. Haripun berlalu, masapun bertukar. Tapi ia tak kunjung putus harapan. Sebagaimana ucapannya yang juga disebutkan dalam al-Quran: "Kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku, sesungguhnya Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. Yusuf : 83)

Ternyata, musibah itu telah menambah kebaikan yang sangat besar pada diri Nabi Ya'qub as. 

Ada analogi yang baik kita renungkan. "Seorang pekerja pada proyek bangunan memanjat ke atas tembok yang sangat tinggi. Pada suatu saat ia harus menyampaikan pesan penting kepada teman kerjanya yang ada di bawahnya. Pekerja itu berteriak-teriak tetapi temannya tdk bisa mendengarnya karena suara bising dari mesin-mesin dan orang-orang yang bekerja, sehingga usahanya sia-sia saja. Oleh karena itu untuk menarik perhatian orang yang ada dibawahnya, ia mencoba melemparkan uang logam di depan temannya. Temannya berhenti bekerja, mengambil uang itu lalu bekerja kembali. 

Pekerja itu mencoba lagi, tetapi usahanya yang keduapun memperoleh hasil yg sama. Tiba-tiba ia mendapat ide. Ia mengambil batu kecil lalu melemparkannya ke arah org itu. Batu itu tepat mengenai kepala temannya, dan karena merasa sakit temannya menengadah ke atas. Sekarang pekerja itu dapat menjatuhkan catatan yg berisi pesannya. Tuhan kadang-kadang menggunakan pengalaman-pengalaman yang menyakitkan untuk membuat kita menengadah kepada-Nya, Seringkali Tuhan memberi berkah, tetapi itu tidak cukup untuk membuat kita menengadah kepada-Nya. Karena itu memang lebih tepat jika Tuhan menjatuhkan "batu" kepada kita."

Karena itu, bersyukurlah bila masih diuji...
Tabungan Syari'ah www.rajadinar.com

Sabtu, 16 Juni 2012

Kisah Nabi Danial dan Nabi Irmiya

Raja Nebukadnezar [1] datang ke Baitul-Maqdis dari Syria, lalu membunuh kaum Bani Isra’il, merampas kota Baitul-Maqdis dengan aksi kekerasan, dan menawan anak cucu mereka, yang salah satunya adalah Danial ‘alaihis salam. [2]
nabi danial dan irmiyaSebelum aksinya, raja ini lebih dulu didatangi oleh ahli nujum dan paranormal, seraya mereka bilang: Suatu malam akan lahir seorang bayi fulan yang bakal memporak-porandakan kerajaanmu. Lalu sang Raja menjawab: Demi Tuhan! Tak akan tersisa malam itu seorang bayi lahir kecuali akan kubunuh. Semua bayi dihabisi, kecuali bayi Danial saja yang tidak dibunuh dan hanya dialungkan ke singa hutan. Namun singa itu enggan memangsanya, malah singa betinanya menjilat-jilat sang bayi dan tidak melukainya. Kemudian ibunya datang dan menemukan kedua singa (jantan dan betina) itu tengah menjulur-julurkan lidahnya ke tubuh anaknya. Allah lalu menyelamatkan bayi itu.
Setelah kejadian itu, ulama setempat menuturkan bahwa Danial lalu melukis/mengabadikan gambarnya dan gambar kedua singa yang menjilatinya itu pada permata cincin agar dia tidak lupa akan nikmat Allah atasnya (diriwayatkan oleh Ibnu Abu Dunya dengan sanad hasan).
Dalam redaksi yang lain diceritakan: Selepas Musa ‘alaihis salam yang berselang cukup lama, ada seorang nabi yang dipanggil dengan Danial. Nabi ini didustai oleh banyak kaumnya, diciduk oleh rajanya, seraya dilemparkan ke hadapan macan yang sengaja dibuat lapar di dalam perigi. Tapi ketika Allah melihat keelokan tawakal kepada-Nya dan kesabarannya demi menuntut sesuatu yang ada di sisi-Nya, maka Allah menahan mulut-mulut singa itu untuk memangsanya, malah ia berdiri dengan kedua kakinya di atas singa itu. Singa itu berhasil dijinakkan dan tidak melukainya. Lalu Allah mengirim Irmiya [3] dari negeri Syria, yang kemudian membebaskan Danial dari kesulitan ini, dan menghancurkan orang yang hendak melenyapkan Danial.
Dari Abdullah bin Abu Hudhail, ia berucap: Nebukadnezar telah melatih dua ekor singa dan melemparkan keduanya ke dalam sumur. Lalu dia bawa Danial dan dia masukkan ke dalam sumur itu, namun kedua singa itu tidak menerkamnya. Apa yang diinginkan Allah, itulah yang terjadi terhadap Danial. Tapi sebagaimana manusia lainnya, Danial pun ingin makan dan minum. Kemudian Allah mewahyukan Irmiya yang tengah berada di Syria agar menyiapkan makanan dan minuman untuk Danial. Irmiya pun menyahut: Wahai Rabb, aku tinggal di bumi yang suci (Syria) sedang Danial ada di negeri Babilonia, negara bagian Irak. Lalu Allah kembali mewahyukan agar Irmiya mempersiapkan sesuatu yang sudah Allah perintahkan, dan Allah akan mengirim makhluk yang akan membawa dirinya sekaligus membawa apa yang sudah ia siapkan. Irmiya pun menunaikan perintah wahyu itu, lalu Allah Mengutus makhluk yang membawa Irmiya sekalian membawa segala sesuatu yang sudah disiapkannya, hingga sampai di mulut sumur itu, tempat Danial tergolek. Danial menyambutnya dengan bertanya: “Siapa anda?”
“Saya Irmiya,” jawabnya.
“Siapa yang membawamu?” tanya Danial.
“Rabbmu mengutus aku agar menemuimu,” kata Irmiya.
Danial menimpali: “Dia (Rabb) menyebut aku?”
“Ya,” jawab Irmiya.
Ucap Danial: “Segala puji bagi Allah, Dzat yang tidak melupakan orang yang mengingat-Nya. Segala puji bagi Allah, Dzat yang tidak mengecewakan orang yang menharap-Nya. Segala puji bagi Allah, Dzat yang barangsiapa bertawakal kepada-Nya, niscaya Allah akan mencukupinya. Segala puji bagi Allah, Dzat yang barangsiapa menaruh kepercayaan penuh kepada-Nya, maka Allah tidak akan mewakilinya kepada yang lain. Segala puji bagi Allah yang mengganjar ihsan (kebajikan) dengan ihsan dan membalas keburukan dengan pengampunan. Segala puji bagi Allah yang membalas kesabaran dengan kejayaan. Segala puji bagi Allah yang telah mengangkat kesukaran kami setelah kesulitan kami. Segala puji bagi Allah, Yang adalah tumpuan kepercayaan kami ketika kami berpraduga buruk terhadap amal-amal kami. Segala puji bagi Allah, Dzat yang adalah tumpuan harapan kami ketika siasat telah terputus dari kami.”
Catatan kaki:
[1] Nebukadnezar (604-561 SM) adalah Raja Babilonia yang menyerang Mesir dan membebaskan al-Quds, lantas membakarnya, juga mengusir orang-orang Yahudi ke Babilonia. (lihat al-Munjid)
[2] Nabi Danial adalah penulis Kitab Danial, yaitu bagian dari Kitab Perjanjian Lama, yang juga pahlawan kenabian. Tradisi Masihi memasukkannya sebagai salah satu di antara empat Nabi yang besar (lihat al-Munjid dan al-Bidayah juz Ii, hlm. 36-38).
Para sahabat menemukan makamnya dan segala hal yang bertautan dengannya saat pembebasan yang terjadi pada era Umar bin Khaththab.
[3] Irmiya adalah salah satu nabi terbesar Bani Isra’il yang empat, yang memperoleh kenabian sebelum punahnya kerajaan orang-orang Yahudi. Ia banyak mengalami intimidasi dan siksaan dari pihak kerajaan.
Sumber: Sorga di Dunia karya Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi (penerjemah: Abu Sumayyah Syahiidah), penerbit: Pustaka Al -Kautsar, cet. Kedua, Mei 2000, hal. 39-42.
sumber: http://fadhlihsan.blogspot.jp/2012/03/kisah-nabi-danial-dan-nabi-irmiya.html

Kamis, 14 Juni 2012

Kisah Bilal bin Rabah RA

Namanya adalah , Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah  yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.
 lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil  dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).


Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.

Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.
Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.
Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.
Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.
Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”
Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”
Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”
Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”
Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih :
Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil

Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.
Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi.
Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam.
Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alalfalaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.
Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam  Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.
Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”.
Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..
Sementara al- bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”
AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”
Sementara Abu  yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”
Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”
Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.
Sejak kepergian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.
Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”
Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”
Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.”
Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.
Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya), “Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”
Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..Bilal, “pengumandang seruan langit itu”, tetap tinggal di Damaskus hingga wafat.
Disalin dari Biografi Ahlul Hadits, yang bersumber dari Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya
Artikel www.KisahMuslim.com

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes